Pulau Biak dan Pulau Yapen di pesisir utara leher kepala burung Papua kerap diguncang gempa. Gempa itu bersumber di Sesar Yapen yang melintas di antara dua pulau itu. Sesar itu membentang dari Manokwari hingga ke Jayapura di ujung timur pesisir utara Pulau Cenderawasih itu.
Pusat Gempa Nasional (PGN) di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Rabu (16/6), melaporkan pada pukul 10.16 WIB terjadi gempa tektonik berskala 7,1 skala Richter. Data seismograf yang dihimpun di PGN menunjukkan, sumber gempa berada pada jarak 123 kilometer tenggara Biak pada kedalaman 10 kilometer—tergolong gempa dangkal.
Gempa ini dirasakan di Biak dan Serui, ibu kota Yapen dengan intensitas tergolong kuat, 5–6 MMI (Modified Mercalli Intensity). Adapun di Manokwari dan Nabire di ”leher burung” Papua, intensitasnya 4–5 MMI. Intensitas ini mengukur dampak gempa, bukan energi yang dilepaskan.
Gempa utama itu, menurut Kepala Subbidang Informasi Dini Gempa Bumi BMKG Rahmat Triyono, didahului dengan gempa 6,2 SR, 10 menit sebelumnya.
Menurut Rahmat, bila dilihat dari skala kegempaan dan kedalaman sumbernya, gempa Biak berpotensi menimbulkan tsunami, tetapi BMKG tidak melihat kejadian gelombang pasang itu. ”Karena mekanisme pergerakan sesar itu mendatar sehingga tidak menimbulkan lonjakan kolom air berupa gelombang pasang yang menjalar,” ujarnya.
Menurut pakar tsunami Parluhutan Manurung dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, tsunami terjadi akibat gerakan cepat naik-turun permukaan laut yang merambat di sekitar perairan. Hal ini timbul akibat perpindahan massa air yang mengisi retakan yang terjadi pada permukaan dasar laut saat gempa terjadi.
Sesar Yapen, lanjut Rahmat, merupakan percabangan dari Sesar Sorong—membentang dari Manokwari, melintas di Maluku Utara hingga ke ujung timur Sulawesi Tengah.
Sesar Yapen menerus sampai Jayapura di timur, sedangkan cabang sesar Sorong lainnya yang disebut Sesar Ransiki terus ke arah tenggara hingga ke Nabire.
Selain sesar-sesar besar ini, kata Rahmat, banyak sesar mikro lain yang aktivitasnya dipengaruhi interaksi yang rumit tiga lempeng dunia, yaitu Eurasia, Indoaustralia, dan Pasifik.
Dari tiga lempeng tersebut, kawasan sekitar Sesar Yapen lebih banyak dipengaruhi subduksi Lempeng Samudra Pasifik yang bergerak lebih aktif, mendesak ke arah selatan.
Segmen zona subduksi di utara Papua itu disebut Subduksi Irian. Segmen ini berada di perairan utara Pulau Biak. Aktivitas penunjaman tersebut menimbulkan gempa diikuti tsunami, di kepulauan dan pesisir di utara Papua.
Data sejarah
Sejarah kegempaan di kawasan itu menunjukkan tingkat kegempaan berskala lebih tinggi dari 6 SR hampir setiap tahun terjadi.
Kejadian gempa besar di Biak-Yapen paling awal tercatat 26 Mei 1914. Ketika itu terjadi tsunami hingga ke Pulau Yapen dan dilaporkan menewaskan sejumlah orang di pulau itu.
Selain itu, BMKG juga mencatat sejak 12 September 1979 gempa berskala 6,3 SR ke atas hingga kini telah 11 kali terjadi di kawasan segitiga Biak-Yapen- Nabire. Guncangan itu bersumber di zona subduksi dan sesar.
Selama kurun waktu itu, aktivitas tektonik terbesar, yaitu berskala 8,1 SR pada 17 Februari 1996. Ketika itu tsunami yang timbul akibat gempa yang berepisentrum di Subduksi Irian itu menyapu Biak dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Akibat gempa dan tsunami itu, 108 orang tewas dan 58 hilang. Gempa juga menyebabkan 5.000 rumah rusak dan roboh.
Setelah itu, Biak dilanda dua tsunami lagi, tetapi bukan tergolong yang merusak—akibat gempa 10 Oktober 2002 yang berkekuatan 7,6 SR dan gempa yang berpusat di pesisir utara Manokwari, 3 Januari 2009.
Akibat gempa yang bersumber di segmen subduksi Irian itu, Manokwari juga diterjang tsunami setinggi 78 cm sedangkan Biak 38 cm dan Jayapura sekitar 20 cm.
Beberapa waktu lalu, Parluhutan Manurung yang juga Kepala Bidang Medan Gaya Berat dan Pasang Surut Bakosurtanal menjelaskan, Manokwari diguncang dua kali gempa dengan sumber berbeda yang berselang waktu sekitar tiga jam.
Pusat gempa pertama yang berkekuatan 7,9 SR berjarak sekitar 140 km dari Manokwari. Adapun gempa 7,6 SR jaraknya 77 km. Gelombang tsunami pertama tiba di Manokwari setelah 17 menit dengan kecepatan rata-rata sekitar 500 km/jam.
Meski tidak menelan korban jiwa, gempa Manokwari yang terjadi pada dini hari 4 Januari 2009 itu menimbulkan gelombang tsunami seperti terekam di stasiun pengamatan pasang surut yang dipasang di tiga pelabuhan, yaitu Manokwari, Biak, dan Jayapura.
Ketiga stasiun saat ini masih belum dilengkapi dengan sistem komunikasi data real time. Stasiun Manokwari dan Jayapura meski sensornya sudah digital, tetapi sistem komunikasi datanya masih belum bisa dibuat real time karena menggunakan komunikasi data GSM.
Stasiun Biak masih menggunakan analog grafis sehingga data terkirim oleh operator lokal di stasiun Biak ini melalui faksimile sehari sesudah terjadi gempa.
Dilihat dari kejadian gempa besar atau 7 SR ke atas, Rahmat mencatat sejak tahun 2005, peningkatan yang signifikan terjadi pada 2009. Pada 2005, tercatat 4 kali gempa besar, sedangkan tahun lalu terjadi sebanyak dua kali lipatnya.
Dari delapan kali kejadian gempa besar tahun lalu, lima di antaranya terjadi di kawasan timur Indonesia. Sampai Rabu (16/6) ini, telah terjadi 5 gempa besar di sana. Selain Biak, juga terekam kejadian gempa di Labuha Maluku pada 14 Maret lalu yang berkekuatan 7,0 SR.
Meskipun begitu, data tersebut tidak dapat dijadikan dasar kesimpulan telah terjadi peningkatan kegempaan di Indonesia. Kurun waktu penelitiannya masih relatif singkat.
Sumber: Kompas (17/06)
Gempa Biak - Sumber Energi Berada di Sesar
Read User's comments(0)
Langganan:
Postingan (Atom)